Kuliner Jadi Benteng Tanah Lot dari Gempuran Budaya Asing
A
A
A
PAGI hari di Kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Tanah Lot, Tabanan, Bali. Semua warna ada di sini. Sebut saja mereka adalah perwakilan dunia. Turis Amerika, Eropa, Asia, bahkan Afrika, dan yang terbanyak Australia berbaur menyatu di salah satu destinasi wisata dunia kebanggaan Pulau Dewata itu. Dalam ragam cakap bahasa Inggris seadanya, satu sama lain mencoba menjadi sahabat manusia yang punya tujuan bersama, yakni menikmati keindahan alam dan budaya.
Namun, pagi itu agak berbeda dari biasanya. Di sepanjang jalan, terdapat banyak banner bertuliskan Tanah Lot Kreatifood & Art Festival. Warna-warni umbul-umbul kecil membentang dan melintasi jalan menuju pantai. Cukup jelas menandakan akan ada semacam pesta rakyat di kawasan ini. Apalagi, beberapa warga terlihat mengenakan pakaian adat. Sejumlah pecalang 'polisi adat Bali' dan aparat kepolisian pun tampak berjaga-jaga di sekitar lokasi.
Tanah Lot saat ini masih tetap disakralkan. Hingga kini pelestarian budaya dilakukan untuk menghindari gempuran budaya asing. Majalah SINDO Weekly Edisi No.20/VI/2017 yang terbit Senin (17/7/2017), mengupas secara lengkap bagaimana pemerintah daerah memagari budaya lokal ini.
Namun, pagi itu agak berbeda dari biasanya. Di sepanjang jalan, terdapat banyak banner bertuliskan Tanah Lot Kreatifood & Art Festival. Warna-warni umbul-umbul kecil membentang dan melintasi jalan menuju pantai. Cukup jelas menandakan akan ada semacam pesta rakyat di kawasan ini. Apalagi, beberapa warga terlihat mengenakan pakaian adat. Sejumlah pecalang 'polisi adat Bali' dan aparat kepolisian pun tampak berjaga-jaga di sekitar lokasi.
Tanah Lot saat ini masih tetap disakralkan. Hingga kini pelestarian budaya dilakukan untuk menghindari gempuran budaya asing. Majalah SINDO Weekly Edisi No.20/VI/2017 yang terbit Senin (17/7/2017), mengupas secara lengkap bagaimana pemerintah daerah memagari budaya lokal ini.
(bbk)